Saat Aku Pulang
Saat aku pulang. Ada perasaan aman sesampainya kaki di ambang pintu rumah. Ada pikiran yang mulai tenang sesampainya badan ini masuk ke dalam. Aku berdiri menghadap pintu rumah. Ragu untuk masuk. Aku menunduk, tepatnya menatap kaki ku.
Crekk!!
Tiba-tiba pintu terbuka. Ibu yang membukanya di sana.
“Ya Allah. Itu kakinya kotor. Jangan langsung ke kamar. Pergi mandi sana!” kata Ibu dengan intonasi yang sedikit kesal.
Aku berjinjit kaki melangkah lompat-lompat kecil sambil nyengir kuda. Masuk rumah, lalu pergi ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi tanpa ruang yang tertutup rapat, sayup-sayup terdengar Ibu masih mengomel sendirian di ruang tengah.
“Kebiasaan ya. Kamu kalo main tuh bisa gak sih gausah pake kotor-kotor! Punya dua anak cowok susah banget di atur. Si Angga juga kemana belum pulang? Udah jam lima masih aja keluyuran,” begitu katanya.
Aku termenung. Lebih tepatnya terdiam. Antara takut, atau sedang berpikir dalam-dalam. Kasihan Ibu. Pasti sangat kecapean harus mencuci bajuku yang selalu saja kotor tiap kali pulang bermain.
Walau seringkali ocehan Ibu menjadi santapan sore hari ku, tetap saja aku selalu ketakutan mendengarnya membentak-bentak. Meskipun dalam besar kesalnya, Ibu tidak sampai memukulku parah. Pernah waktu itu, sebuah sapu lidi di gebukan ke paha ku sampai aku menangis. Tapi setelahnya, Ibu berucap maaf ketika makan malam dimulai. Sambil menyuapiku, “Maafin Ibu ya. Kakak juga jangan nakal-nakal. Nurut sama Ibu ya,” begitu katanya, yang hanya ku balas dengan anggukan kepala.
Kamar mandi di rumahku tidak tertutup rapat oleh tembok. Ada sebuah bak kecil yang menghubungkan antara luar pintu kamar mandi, dan di dalamnya. Jadi, yang mandi bisa langsung ambil air dalam bak kecil itu tanpa di halangi apapun. Dan yang di luar kamar mandi pun, jika tergesa ingin mencuci sesuatu, atau mengambil air wudhu, bisa langsung ambil air tanpa menunggu yang di dalam kamar mandi menyelesaikan mandinya.
Di belakang tembok kamar mandi, adalah sebuah ladang sawah yang luas. Samar aku mendengar teriakan demi teriakan teman-temanku yang masih asik bermain layangan. Samar pula aku mendengar tangisan di luar sana. Pelan-pelan suara tangisan itu semakin jelas. Aku mendelik, itu tangisan Angga, adikku.
Belum satu gayung air pun yang mengguyur badanku, aku membuka tuas pintu kamar mandi. Aku bergegas keluar rumah melewati pintu belakang. Begitu pintu terbuka, dari kejauhan aku mendapati Angga berlumuran lumpur hampir di seluruh tubuhnya. Kepalanya ikut menghitam. Dia menangis. Dia berjalan di tuntun Bagas, dan Galih.
“Woy an***g! Si Angga di apain!? Jangan macem-macem lu semua!” umpatku kesal. Berteriak menghampiri Angga tanpa baju, dan celana. Hanya celana dalam yang menutupi pusaka abadiku di situ.
Beberapa teman ada yang menertawaiku sebab tanpa baju, dan beberapa yang aku lihat ada yang berlari yang membuatku berpikir mereka yang melakukan ini pada Angga. Aku kesal. Sangat-sangat geram.
“Siapa yang lakuin ini?” tanyaku pada keduanya, Bagas, dan Galih. Angga masih menangis kencang.
“Dia cuman kepeleset, Yo, waktu ngejar layangan putus.” jawab Galih.
Aku menatap tajam kedua mata mereka, merangkul Angga untuk pulang. Aku tahu, mereka berbohong.
Mungkin sebab mendengar teriakanku tadi, aku melihat Ibu sudah berdiri di ambang pintu belakang rumah, menatapi kami. Ibu bertolak pinggang, menggeleng-geleng kepalanya.
“Ya ampun Angga. Gimana gak kesel coba Ibu kamu kalo sampe kayak gitu,” kata Bi Tirah, tetangga rumah.
Kadang aku selalu kesal padanya. Selalu saja ikut campur urusan rumah. Layak orang yang gak punya rumah, apa?
“Biarin aja. Gausah masuk ke rumah, kamu!” sergah Ibu yang teramat kesal.
Aku menunduk. Angga tidak berhenti menangis.
“Diem di situ! Bersihin sampe bersih. Kalo belum bersih jangan masuk rumah. Sampe malem pun biarin. Biar di ambil wewe gombel aja sekalian, kamu,” cecar Ibu, membuat Angga semakin histeris. Aku masih tetap menunduk.
Brrughh!
Ibu membanting pintu di hadapin kami, membuat kami terkejut bukan main.
“Udah, Ga. Jangan nangis. Ayo kakak bantu bersihin,” kataku mencoba menenangkan Angga.
Ada selokan yang tidak terlalu lebar yang menghubungkan antara ladang sawah, dan pemukiman penduduk. Karena kebetulan rumah kami berdiri paling belakang. Jadi, tepat di belakang rumah adalah selokan.
Airnya sangat jernih, dan selalu jernih. Penduduk setempat biasa mencuci baju, piring, bahkan mandi di selokan ini. Oh, penduduk di desaku lebih menyebutnya sebagai wahangan, atau sungai. Namun jika di sebut sungai pun, ini jarak antara sisi dan sisi tidak terlalu lebar. Abaikan saja apapun namanya.
Aku menuntun Angga untuk turun ke selokan. Aku membantu membersihkan lumpur-lumpur yang ada di sekujur tubuhnya. Wajahnya, badan, tangan, sampai kaki. Angga mulai menangis pelan. Aku yang membersihkan lumpur di tubuhnya, Angga yang diam sambil melihat ke area sawah. Melihat teman-teman kami yang masih asik bermain. Bermain di langit senja, yang sebentar lagi gelap gulita.
“Buka baju kamu. Biar kakak gosok pakai batu yang bagian kotornya itu,” pintaku pada Angga.
Angga mulai berhenti menangis. Dia mengikuti perintahku. Dia membuka baju.
“Celananya juga ya, Kak,” ucapnya sendu.
Aku masih berdiri. Mengangguk pelan. Aku mulai berjongkok. Bagian bokongku masuk ke dalam air. Aku menggosok baju Angga memakai batu kecil sekepal tangan Bapak ku, mungkin.
“Tadi kamu di apapin?” tanyaku tanpa menjeda aksi. Tanganku masih fokus menggosok baju Angga.
“Enggak tau, tadi Angga kayak di dorong orang. Tapi gatau siapa.”
“Kan Kaka udah bilang. Kalo layangan putus di kejar banyak orang, kamu gak usah ikut ngejar. Badan masih kecil gitu, ke senggol dikit juga kelar.”
“Hummmhhh..” Angga mendengus kesal. Dia cemberut.
“Pokoknya, besok-besok jangan jauh-jauh dari kakak. Tadi kakak nyariin mau ngajak pulang, kamu gak ada. Gak tau di mana. Atau, kamu ngerti sendiri deh. Sebelum jam lima, harus sudah mandi. Nanti Ibu marah-marah lagi. Mau?”
Angga menggeleng pelan.
Sudah setengah jam lewat kami di biarkan di luar rumah. Kami duduk di tangga selokan memandangi langit yang mulai ke unguan.
“Kita kayak tuyul,” celetuk Angga tiba-tiba.
Aku menoleh pada Angga. Mengerutkan dahi, “Kenapa?”
Angga melirik padaku, “Tuyul kan pake cangcut doang, Kak. Kayak kita,”
Aku berpaling. Kembali menatap langit. Tersenyum tipis. Lebih tepatnya menahan tawa. Polos sekali Angga.
“Baju kamu basah, jangan di pake. Kan Ibu pernah bilang, pas waktu kita main hujan-hujanan, 'kalo baju kalian basah, cepet di buka, nanti masuk angin.' inget?” kataku, memperagakan bahasa Ibu saat memberi pesan itu, yang langsung di sambut tawa oleh Angga.
Crekk!
Suara pintu terbuka. Kami menoleh ke belakang. Ibu berdiri di sana. Menatap kami biasa saja. Aku bangkit berdiri, Angga ikut berdiri, dia berlindung di punggungku. Takut-takut Ibu akan memukul pahanya, atau menjewer kupingnya.
“Masuk, langsung mandi,” kata Ibu.
“Ini, Bu. Baju Angga sudah Tio bersihin. Tapi masih kotor sedikit. Maaf,” ucapku sembari menyerahkan pakaian Angga.
Ibu mengambilnya. Lantas berlalu meninggalkan kami di ambang pintu. Kami pun akhirnya masuk, dan langsung masuk ke kamar mandi. Kami mandi berdua di dalam kamar mandi.
Ini adalah malam minggu. Hari yang paling bahagia bagi kami. Selain besok tentu libur sekolah, Bapak akan selalu pulang dari pekerjaannya di Jakarta setiap malam minggu.
Makan malam pun di hidangkan Ibu untuk kami makan bersama. Ada dua telur ceplok di lumuri kecap untuk aku, dan Angga makan. Ibu biasa hidangkan makanan ini untuk kami. Rasanya lebih nikmat dari hidangan apapun di luar sana. Ada rasa khas yang melekat ketika Ibu yang memasakannya sendiri untuk kami. Sedangkan Ibu sendiri, lebih memilih lauk ikan asin, di cocol sambal terasi, lengkap dengan terong bulat tersaji dalam piringnya itu. Huek, apa enaknya itu? Namun Ibu nampak menikmatinya. Terlihat lahap ketika aku memperhatikannya makan. Sambil menonton acara sinetron Cinta Fitri, terkadang Ibu menambah nasi. Tidak lupa menyendoki kami, “Tambah lagi nasinya, itu telornya masih sisa,” begitu katanya. Huh, Ibu tidak mengerti, padahal kami sengaja sisakan telurnya untuk kami makan tanpa nasi.
Satu jam setelah makan malam selesai, Ibu masih setia dengan acara Cinta Fitri yang malam ini tayang cukup panjang. Episode terakhir katanya. Kami tidak bisa mengganggu, tapi terkadang Ibu suka pindahkan salurannya ke acara yang kami suka, meskipun di sela-sela drama Cinta Fitri belum iklan. Memang acara itu menyebalkan, panjang sekali kisahnya. Ibu selalu mengerti kami, Ibu selalu mengalah meski kami tidak merengek memaksa Ibu pindahkan acaranya.
Namun bukan acara yang sebenarnya kami semua tunggu di dalam rumah. Tapi kepulangan Bapak. Sudah jam delapan malam. Biasanya Bapak sudah datang jam segini. Aku, dan Angga bergantian melirik pintu rumah. Berharap Bapak membukanya dari luar.
Beberapa menit berlalu, akhirnya Bapak benar pulang, membawa senyuman yang selalu membuat kami berteriak riang. “Bapak,” kataku, dan Angga, berlari menyambut Bapak. Bapak mengusap kedua kepala kami. Bapak duduk di kursi, membuka tali sepatu. Kami berdiri di hadapannya, berharap mendapat sesuatu. Peristiwa sama yang selalu kami tunggu ketika Bapak pulang.
Bapak melirik pada kami berdua. Bapak tersenyum menatap kami. Bapak segera memindahkan tas yang sedari tadi di gendongnya itu, ke pangkuannya. Bapak membuka tas. Kami mengangkat kedua alis kami, menebak-nebak sesuatu apa yang akan Bapak keluarkan dalam tasnya.
“Ini untuk Kakak,” ucap Bapak, memberikanku robot-robotan Power Rangers, dengan jumlah personil yang lengkap. Lima Power Rangers. Keren! Aku melompat, aku sangat gembira.
“Dan ini, untuk Angga,” katanya lagi, memberikan satu kotak mainan bergambar mobil Crush Gear yang sedang banyak teman-teman kami bicarakan. Angga ikut melompat gembira.
“Hummmmhh ... Di jaga mainannya. Di rawat baik-baik. Itu di laci bawah udah numpuk tuh mainan kalian,” kata Ibu, yang tanpa sedikitpun kami gubris.
Seperti biasa, tiap kali Bapak membelikan mainan baru. Kami bermain hampir semalaman. TV tetap menyala di ruang tengah, kami bermain berdua di kamar. Ibu, dan Bapak mungkin sudah tidur di kamar, pikirku. Tapi setelahnya, suara pintu kamar mereka terbuka. Bapak keluar dari sana memakai sarung, dengan kaos putih polos. Bapak mematikan TV, lalu menghampiri kami dalam kamar. Pintu kamar kami tidak tertutup.
“Eh, tidur, udah malem,” kata Bapak.
Aku meliriknya.
“Besok kan libur sekolah, Pak,” sahut Angga polos. “Angga masih mau main Klasgir,” lanjutnya dengan kalimat akhir yang tak benar di ucapkan. Ya ampun adikku ini.
“Libur, atau enggak, kalian harus tetap tidur. Besok bangun subuh. Emang kalian mau, bangun kesiangan, terus gak shalat subuh?” kata Bapak. “Mau, di datengin malaikat terus nanyain kenapa gak shalat subuh? Allah marah nanti.”
“Marahnya Ibu, Angga lebih takut, Pak,” kata Angga. Aku menahan tawa.
Bapak terkekeh. “Angga takut gak marahnya Bapak?”
Aku terdiam. Senyumku hilang. Angga melirik Bapak. “Bapak mau marah?”
Detik itu juga Bapak menghilangkan senyumnya. Bapak menatap kami tajam. Angga mulai menaruh mainan Crush Gearnya. Matanya tak beralih menatap mata Bapak. Entah kenapa tiba-tiba aku sendiri mulai merasa takut melihat tatapan itu. Aku mulai membuat sugesti yang bukan-bukan seandainya Bapak marah, bagaimana jadinya? Yang bahkan belum pernah sama sekali kami lihat.
“Kakak mau tidur ah. Besok harus bangun subuh,” kataku, langsung menempelkan kepala di bantal. Angga meniru aksiku tanpa berkata apapun.
Tanpa membuka mata, aku sudah dapat pastikan bahwa lampu kamar sudah Bapak matikan. Di ikuti suara pintu kamar yang di tutup setelahnya.
Clek!
Malam yang hening, sayup-sayup terdengar suara TV menyala di ruang tengah. Aku membuka mataku sedikit, memastikan Angga ada di sampingku. Dan, sempurna, mataku di buat terbuka lebar. Angga tidak ada di sisiku. Angga tidak ada di dalam kamar. Sudah dapat di pastikan, dia yang menyalakan TV di ruang tengah. Tapi kenapa aku tidak tahu kapan dia keluar kamar? Ya ampun, anak itu, bagaimana jika Bapak marah?
Aku membuka pintu kamar, mendapati Bapak, dan Angga yang tengah menonton.
“Huh, Kakak. Katanya mau bangun subuh. Tapi aku duluan yang bangun,” kata adikku.
Bapak tersenyum mengusap-usap kepala Angga. Aku melirik jam yang tergantung di dinding. Jam setengah lima? Ya ampun, malam terasa sangat begitu cepat rupanya jika pergi tidur.
“Padahal, kakak duluan yang tidur,” lanjut Angga mencibirku depan Bapak. Anak ini! Padahal terhitung beberapa detik saja semalam setelah aku tertidur, dia pun tidur.
Aku cemberut. “Bapak biasanya bangunkan kami,”
“Angga aja bangun sendiri. Lebih duluan lagi dari Bapak, sama Ibu,” sahut Bapak.
Aku memiringkan bibir, lekas pergi ke kamar mandi. Cuci muka, gosok gigi, dan ambil wudhu.
Pagi hari jam tujuh pagi. Aktifitas Bapak sudah seperti biasanya. Bapak merapikan tembok-tembok rumah yang belum rapi. Dan ada yang beda hari ini. Bapak membawa beberapa keramik. Lantai dapur akan Bapak keramik.
Bapak sudah terbiasa melakukannya sendirian, tanpa membayar jasa orang untuk membantunya. Perlahan demi perlahan, rumah ini nampak bagus dari sebelumnya. Aku pikir begitu. Sesekali, Ibu membantu Bapak di sana.
“Malam tadi, Bapakku beliin Klasgir nih. Ayo adu Klasgir,” kata Angga terdengar samar di beranda rumah.
Mendengar itu, aku segera pergi dari ruang dapur. Aku mendapati sudah ada Agung, Ica, Hani, dan Akbar, yang bermain bersama Angga.
“Eh, Angga. Ibu bilang jangan pernah pamer ke orang-orang,” kataku setibanya.
“Angga gak pamer, Kak. Cuman ngasih tau mereka aja,” balas Angga.
Aku memiringkan bibir.
“Yo, Klasgir kamu mana?” tanya Hani di sana.
“Crush Gear,” timpalku membenarkan. “Bapak gak beliin aku Crush Gear. Tapi lengkap ke lima Power Rangers. Ada yang merah, kuning, biru, hijau, dan ping. Keren!” paparku.
“Mana? Aku mau lihat,” sahut Akbar.
“Enggak ah, aku gak mau pamer,” jawabku sekenanya.
Akbar, dan Hani nampak cemberut. Kami putuskan untuk main sama-sama di teras rumah. Dari mulai bermain imajinasi perang-perangan, sampai rumah-rumahan, di mana aku menjadi peran sang Bapak. Ica sebagai istriku, Hani jadi anak pertamaku, bersama Ica. Dan Angga menjadi anak kedua ku. Sementara Akbar jadi pedagang sembako, Agung jadi bos di tempat kerjaku. Entah apa yang kami imajinasikan dalam permainan ini, rasanya mutlak seperti kehidupan yang nyata.
Hingga siang, rasanya kami baru saja memainkan permainan itu dengan waktu yang singkat. Permainan diakhiri, sebab Galih, Bagas, Intan, dan Ujang datang. Mereka memutuskan pergi bermain petak umpet. Angga ikut bersama mereka, tapi aku memilih masuk ke dalam rumah. Aku memilih bermain dengan imajinasiku sendiri di dalam kamar. Semalam kan Bapak baru saja belikan aku robot-robotan. Aku akan bermain dengan mereka.
“Tio, ayok gambreng,” panggil Intan, mengajak sekaligus membuyarkan lamunanku.
Aku menarik bibir tipis, menggeleng padanya, pada mereka. “Aku mau pulang. Mau makan.”
Mereka tidak menghiraukanku lagi setelah itu. Aku juga mengatakan itu sembari berbalik badan, segera berlalu meninggalkan permainan. Seruan mereka pelan-pelan samar.
Kamu tahu, aku selalu hapal setelah aku memilih untuk bermain sendirian, setelah jam siang. Akan ada Ibu yang selalu berkata, “Kakak shalat dzuhur dulu. Ajak Angga. Udah itu makan,” yang aku jawab sekenanya. “Iya, Bu,” tanpa berlalu. Selalu begitu. Akan seperti itu.
Aku tersenyum-senyum sendiri sembari melangkah pulang. Hanya merasa lucu saja, kenapa Ibu selalu berkata hal yang sama yang diulang-ulang sampai aku hapal. Tapi ... Seandainya aku tahu bahwa tidak akan ada lagi suara itu yang dapat aku dengar setelahnya.
Saat aku pulang. Ada perasaan aman sesampainya kaki di ambang pintu rumah. Ada pikiran yang mulai tenang sesampainya badan ini masuk ke dalam. Aku berdiri menghadap pintu rumah. Ragu untuk masuk. Aku menunduk, tepatnya menatap kaki ku.
Crekk!!
Tiba-tiba pintu terbuka. Aku mengangkat kepalaku. Mama yang membukanya di sana. Aku tersenyum.
“Ya ampun, Tio. Kirain siapa? Gak ngabarin kalo mau pulang. Dari jam berapa di Jakarta?” kata Mama. Aku mendekat, mencium tangannya.
𝗦𝗮𝗮𝘁 𝗔𝗸𝘂 𝗣𝘂𝗹𝗮𝗻𝗴
Cerita Pendek
Pengarang: Naiko Sei
Ditulis: Naiko Sei
Komentar
Posting Komentar