Pernah Dekat

Kita duduk bareng, kita jalan bareng, bahkan makan, dan nonton bareng. Kamu tahu karakter saya, saya juga mengenal tabiat kamu. Kita sering dicurigai rekan-rekan karyawan lain kalau kita emang pacaran, karena kedekatan kita yang terlihat begitu. Lalu kita dengan sengaja juga bergandengan tangan depan mereka. Kamu bilang, "sirik yaa ..??" beruntung saya mampu mengimbangi gimik yang kamu buat saat itu. Lama-lama, seiring waktu berjalan malah tumbuh perasaan. Sialan memang. Saya jadi sering kikuk saat berduaan sama kamu. Haha. Dulu.

Saya juga ingat ketika kamu mengejutkan saya dari belakang, di meja kantin saat jam pulang. Sebenarnya saya sengaja agar kamu pulang duluan. Tapi ternyata kamu malah mencari, lalu datang. "Wayooo ... Kok di sini sih, gak pulang?" Katamu. Haha. Peristiwa itu terjadi saat saya termakan omongan rekan saya. Katanya, saya hanya kamu manfaatkan agar bisa diantar jemput saja. Padahal sebetulnya memang bukan masalah. Tapi akibat rasa saya yang udah berubah menjadi cinta ke kamu, mendengar hal-hal seperti itu malah memicu. Haha. Bodoh.

Bodohnya lagi, saya malah bicarakan hal itu denganmu. Awalnya saya pikir untuk memastikan. Karena lebih baik bertanya, daripada berprasangka, bukan? Kamu tidak menunjukan raut kecewa, tapi hatimu berkata sebaliknya. Kamu hanya senyum menatap mata saya, lalu bilang "Oh. Gitu." Lalu pergi. Saya mematung. Menimbang apakah ada yang salah? Tapi ternyata memang saya yang salah.

Setelah kejadian itu kamu tidak lagi mengajak saya bicara. Tidak antusias lagi ketika saya memulai obrolan. Bahkan kamu menghindar ketika saya hendak mengajak makan. Dengan senyum manis yang tidak kamu ubah, kamu menolak lembut, "tapi nanti gue makan bareng Sofi sih. Lagi nunggu dia kelar dulu. Lo duluan aja gapapa kan?" Kamu tidak menunjukan rasa benci, tapi perilakumu seolah tidak mau kenal lagi.

Jam pulang di hari berikutnya, saya menemui kamu sedang menunggu bus jemputan bersama banyak karyawan. Saya ajak pulang bareng, seperti biasanya, kamu menolak. Saya sadar saya salah. Saya minta maaf, dan kamu hanya tersenyum manis. Mengangguk tipis.

Berbulan-bulan sudah lewat. Kamu tetap tidak kembali seperti dulu. Malah datang memberi saya pilu. Jam makan siang itu saya melihat kamu dengan seseorang. Bercanda, tertawa sembari jalan menuju antrean. Laki-laki itu cukup tampan. Mempesona dan tampak dermawan. Entah sudah berapa lama kamu dekat. Mencubit, menyenggol, meninju bahu sama seperti yang kamu lakukan pada saya dulu. Pada kedekatan kita waktu itu. Tidak canggung. Saya memperhatikan kamu di meja makan.

Jam pulang, saya melihat kamu diantar. Kebetulan kamu juga melihat saya di parkiran. Kamu melambai pada saya. Tersenyum manis. Hanya senyuman itu yang belum kamu hilangkan dari saya. Semoga saja tidak. Jangan.  Saya turut melambai padamu, tersenyum lebar.

Setelah itu dan seterusnya kamu tidak juga kembali seperti dulu. Saya juga jadi canggung untuk sekadar bertanya “apa kabar”. Saya hanya semakin sering melihat kamu bercanda dengan lelaki itu. Di kantin, di parkiran. Sesekali kita berpapasan di lorong, atau di lane, kamu hanya melempar senyum, tanpa basa-basi sebagaimana kita pernah dekat dulu. Tapi saya benar-benar mengenal tabiatmu. Paling tidak, terima kasih masih menganggap saya ada walau beda.


Naiko Sei



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Aku Pulang

Villa Hakim 3: Bogor