Villa Hakim 3: Bogor
Akhirnya kaki ini menginjak bangunan Villa juga di Bogor, kemarin. Walau bukan kali pertama, tapi kemarin tentu saja pertama kalinya aku menikmati fasilitas Villa, dan suasana lingkungan puncak bersama keluarga. Jika sebelumnya aku pernah tidur di sebuah bangunan Villa, di Pelabuhan Ratu, itu dari acara event yang aku buat untuk sebuah komunitas penggiat alam bebas, yang juga aku dirikan. Ah, jika harus mengingat peristiwa, atau kenangan itu, aku tidak mau. Pilu, sekaligus lucu.
Acara menginap, atau lebih tepatnya menyewa sebuah Villa di Bogor, sebenarnya direncanakan oleh kakak perempuanku, jauh satu bulan sebelum tepat di hari H. Ya, walaupun sebenarnya, awal-awalnya adalah aku juga yang berencana. Jauh sekali. Sudah lama.
Dulu aku sempat berandai-andai, menginap satu-dua malam di sebuah bangunan Villa, bersama keluarga. Ada kakak-kakak perempuanku, keponakanku, Bapak, Mamak, semuanya. Membakar ikan, membakar daging, tertawa-bercanda. Seru sekali. Tersenyum getir membayangkannya.
Lalu aku iseng mendiskusikan hal itu bersama kakak-kakak perempuanku di satu forum grup chat. Namun belum menuai respon bagus. Memang sulit, karena keadaannya memang sudah bukan dulu lagi.
Tiga kakak perempuanku sudah berkeluarga. Itu akan susah untuk mencoba hal-hal sederhana seperti rencanaku itu. Tapi tidak apa-apa. Sejak itu aku memang tidak berharap besar akan kejadian. Mencoba bergurau tidak salah juga.
Satu-dua, tiga tahun berlalu. Aku juga telah banyak berpindah kerja ke kota-kota lain. Palembang, Cirebon, lalu kembali di Bekasi. Kota besar dengan jutaan orang-orang dari luar daerah. Kemudian ide itu kembali mencetus dari kakak perempuanku. Notifikasinya muncul di layar ponsel. Awalnya aku cuek, tidak menanggapi serius. Tapi sesaat kemudian teringat juga, bahwa aku memang ingin mengadakan acara kecil itu. Menyewa Villa di puncak, membakar ikan pada malam-malamnya sembari menatap gemintang di langit yang hitam. Aroma jagung bakar yang juga dibakar di sana, apalagi? Seru sekali pasti.
Akan tetapi tidak semudah itu. Kami sama-sama sibuk dengan dunia kerja kami masing-masing. Suami dari kakak-kakak perempuanku boleh izin di tanggal ini, tapi suami dari kakak perempuanku yang satunya, tidak bisa. Bukan itu, keponakanku juga sudah besar ternyata. Aku sampai tidak tahu tumbuh kembangnya. Dia sudah bekerja saja. Mendengarnya, aku kembali tersenyum getir.
Sama. Keponakanku, adikku, saling bentrok dengan tanggal yang direncanakan untuk sebuah acara mengakhiri tahun di sebuah Villa di Bogor kemarin. Aku? Sama juga. Sulit. Semua karyawan juga mau meminta cuti di akhir tahun. Merencanakan sebuah acara bersama keluarga, pasti sangat menyenangkan. Tapi kami semua harus proporsional dalam tugas, memang. Rumit bukan?
Tapi pada akhirnya aku masa bodo dengan aturan. Sekalipun aku harus dikeluarkan dari tempat kerjaku sekarang, karena kesalahan atas hal kemarin, aku benar-benar tidak peduli. Tidak akan ada kesempatan dua kali seperti ini bersama mereka. Bersama keluarga. Mereka lebih dari apapun. Pekerjaan? Uang? Pangkat? Tidak ada apa-apanya.
Ya, tidak akan ada kesempatan dua kali setelahnya. Lalu, aku tetap berharap diakhir tahun ini akan kembali terulang. Dengan suasana yang lebih hangat, dengan anggota yang lebih lengkap. Juga dengan suasana yang lebih mengasikan lagi. Aamiin.
Aku yang memakai jaket kuning. Didepanku; dia perempuan yang menemaniku sejak aku terjatuh |
Komentar
Posting Komentar