Batas - Aku Bukan Yang Terbaik
Batas
Ditulis oleh: Rizky Imanul
Pada dasarnya, jatuh cinta adalah sebuah anugerah yang paling indah.
Hakikatnya, dicintai adalah rasa yang paling menyenangkan sepanjang sejarah.
Namun mencintai tanpa adanya balasan, rasanya ... Seperti musibah, ya?
Riuh angin pantai menyibak rambut yang hampir menutup seluruh wajahku. Duduk sendirian menyaksikan camar menari di tepian ombak ujung pandang sana. Empat tahun lalu, adalah sekarang. Entah mengapa tiba-tiba aku mengingatnya. Dan mengingatnya membuat bibirku tersungging tipis. Betapa memalukannya kisah itu. Dan mengapa harus memilukan?
Hakikatnya, dicintai adalah rasa yang paling menyenangkan sepanjang sejarah.
Namun mencintai tanpa adanya balasan, rasanya ... Seperti musibah, ya?
Riuh angin pantai menyibak rambut yang hampir menutup seluruh wajahku. Duduk sendirian menyaksikan camar menari di tepian ombak ujung pandang sana. Empat tahun lalu, adalah sekarang. Entah mengapa tiba-tiba aku mengingatnya. Dan mengingatnya membuat bibirku tersungging tipis. Betapa memalukannya kisah itu. Dan mengapa harus memilukan?
Aku tidak ingin menceritakan kisah ini. Bukan berarti aku benci untuk menceritakannya. Bukan juga takut mengembalikan pahit sekaligus sakit di dalamnya. Namun, segala sesuatu yang ingin aku mulai, rasanya begitu hambar jika tidak tahu titik awal.
April di 2013 lalu, perempuan itu aku kenal hanya melalui media sosial. Mengajaknya berchating melalui aplikasi tukar pesan. Sesingkatnya kisah ini, satu bulan setelah perkenalan itu, tanpa pertemuan dan perayaan apapun, kami akhirnya jadian. Bisa seperti itu ya? Ya itu lah romansa sebuah cinta pada masanya.
Dan akhir Oktober 2016, perempuan itu menyerah untuk bertahan. Kamu tahu betapa berantakannya hidupku pada masa itu? Tidak bisa aku jelaskan. Itu sangat berantakan. Wajar. Dia adalah perempuan pertama yang mampu bertahan selama itu. Meski bukan perempuan pertama yang bertahan hingga akhir perjuangan.
Satu tahun lamanya rapuh. Menelan pahit sendirian, menepis berbagai cibiran teman. Rasanya begitu baku. Semua akses komunikasi dia tutup untukku. Tapi terima kasih. Dengan itu perlahan aku dapat melukapannya. Mungkin jika tidak, lebih dari satu tahun otakku tidak akan mampu mengolah segala aktifitas yang sampai kini aku perankan.
Itu adalah pukulan terhebat yang pernah aku terima. Teramat sakit dengan luka yang sangat parah. Hebat. Dia sangat hebat.
Sampai saat ini aku masih ingin menjadi aku yang seperti ini. Entah sampai kapan? Rasanya tidak pernah ada perubahan. Sering aku coba berusaha untuk memulai kembali. Namun selalu saja tidak pernah berjalan lancar. Rasa takut itu terus menghantui. Aku hanya tidak siap menerima rasa sakit itu lagi. Teramat sakit rasanya.
Temanku mungkin benar. Aku tidak seharusnya menjadi lelaki untuk di lahirkan. Tapi aku selalu percaya, Allah menciptakan umatnya dengan penuh perencanaan yang mutlak. Hanya saja, sampai detik ini aku belum mampu temukan.
Pernah aku berpikir untuk menunggu saja. Tapi aku olah kembali, dan rasanya itu sangat mustahil. Tidak ada seorangpun laki-laki yang menunggu cinta hadir di kehidupannya. Tugasnya memang menjemput, bukan untuk di jemput.
Satu batang rokok gudang garam telah membantu otakku mengolah semua kisah kelam pada masa itu, yang menjadi bahan olahan lainnya untuk menjalankan hidupku kedepan. Tidak perlu aku lanjutkan untuk menulis semua rencanaku disini. Ini adalah Batas.
Komentar
Posting Komentar