Kembali Ke Titik Awal


 Apa yang akan kamu rasakan jika telah berhasil mencapai titik yang tinggi? Pasti bahagia, dan bangga. Meski kamu tahu itu tidak sulit, kamu tidak pernah hebohkan pada orang-orang mengenai prosesnya seperti apa? Begitu bukan? Yang mereka tahu hanya kamu sudah berhasil, dan memiliki uang yang banyak.

Dulu, kita sadar. Emmm atau ... Maaf, ini tentangku. Biar aku ceritakan tentangku saja. Namun jika memang memiliki kisah sama, berarti kita orang-orang yang di pilih Tuhan. Ya ... Dulu, sebelum sampai titik tinggi itu, prosesnya sangat sulit.

Lulus sekolah SMK dengan jurusan yang sama sekali tidak aku dapat ilmunya, sungguh kesalahan, dan penyesalan besar seumur hidupku, sampai saat ini. Orang-orang masuk SMK, atau sekolah kejuruan memang untuk bisa langsung mempelajari jurusan yang di sediakan oleh sekolah. Biar bisa langsung terjun ke dunia kerja, tanpa menempuh jalur kuliah, katanya. Kan sudah punya ilmu dasarnya. Otomotif kendaraan ringan, mesin, komputer, jaringan, akomodasi, akuntansi, apapun itu, mereka bersekolah dengan sungguh-sungguh. Tapi betapa bodohnya aku di masa itu. Hingga lulus sekolah (beruntungnya bisa lulus) aku tidak mendapat ilmu dari jurusan yang aku pilih di sekolah dulu.

Malangnya tetap aku jalani meski acap kali di kucilkan. Bodoh! Idiot! Belo'on! Serta kalimat buruk apapun sudah habis ku lahap nikmat-nikmat. Memang pantas untuk orang yang gagal sepertiku. Orang tua banting tulang demi bisa membiayaiku sekolah dengan benar, dan berharap ada prestasi besar, malah kegagalan yang aku dapat. Tawuran, bolos sekolah. Bikin malu saja! Ikut-ikutan tren anak sekolah masa itu di tahun 2011, yang marak di gembor-gemborkan berita tentang rusuhnya tawuran. Bego! Badan kecil kayak lu (dulu) siapa yang bakal takut? -ucap siswa-siswa sekolah lain yang menatapku sebagai lawan. Mungkin, ya? gatau deh itu. Ya dulu aku sangat-sangat kurus. Tapi.. Ekhm! Memiliki ajian. Maka tidak heran jika ikut-ikutan nakal. Tidak perlu aku jelaskan. Bukan poin pembahasan dalam kisah yang akan aku tulis sekarang.

Setelah kelulusan, kebanyakan nongkrong di kampung halaman. Habiskan waktu main gitar. Kopi rokok, teman yang sediakan. Kadang jika aku datang malam-malam menghampiri tongkrongan, tidak ada rokok. Aku tahu, mereka menyembunyikannya. Merasa selalu merepotkan bagi mereka. Selalu menjadi orang yang di suguhkan meski bukan raja. Tabiat mereka mungkin baik, tapi lama-lama mengutuk hati, “sial! Enak sekali hidupnya, datang cuman ngopi, rokok, macam raja. Saya bukan pelayannya!” demikian yang tergambar dari pikiran mereka.

Setelah sadar diri, aku putuskan mengurung diri. Tidak pernah lagi ikut nongkrong, kecuali mereka mengundang. Setiap hari hanya bisa rebahan, main sosial media, tidur. Bangun, makan lagi, lalu main gitar. Kalo bosen, ya kembali rebahan.

Dulu kelulusan SMK 2013, aku belum paham itu bloging. Belum terjun, dan meminati dunia tulis menulis. Buka-buka internet paling ngapain sih selain cari tips, atau trik biar likers Facebook banyak? Dulu heboh banget memang. Akun Facebook dengan jumlah like banyak di statusnya akan menjadi sorotan pasang mata di sana. Begitu pada masanya. Pemalas. Tidak berguna!

Dari masa kelulusan itu, karena mungkin Kakak perempuanku tau kegiatanku di rumah seperti apa, dia bicara dengan Bapak. Memintaku untuk sementara tinggal bersamanya di sana, di Bekasi. Sambil bantu-bantu rutinitas rumah, sambil bisa cari kerja juga katanya. Ketimbang diam saja. Sempat berpikir buruk mengenai perencanaan itu. Bapak mengusirku? Tidak! Bukan, dia ingin yang terbaik untuk anaknya.

Berkas-berkas sudah aku siapkan sebelum itu. Membuat surat kelakuan baik dari kepolisan, membuat surat pencari kerja dari dinas ketenaga kerjaan, membuat surat kesehatan ke puskesmas, selesai. Aku berangkat. Membawa baju ganti seadaanya saja. Aku tinggal beberapa bulan di Bekasi, di rumah Kakak perempuanku yang tentu sudah bersuami.

Pulang, pergi lagi ke Bekasi. Pulang untuk memperpanjang surat kelakuan baik dari kepolisian, pergi lagi ke Bekasi untuk sebuah tujuan mencari pekerjaan. Begitu terus, tidak satu waktu peluang pun memberiku kesempatan dapat bekerja di satu perusahaan. Menyedihkan.

Tepat pada masa-masa paling kritis, dimana (almarhumah) Ibu ku jatuh sakit. Berobat ke sana, berobat kesini, alhamdulillah sedikit membaik. Asal harus tetap dengan obat-obat dari dokter. Dosis habis, Ibu kembali sakit. Tidak ada pilihan lain. Coba berobat ke dokter lain. Berkonsultasi bagaimana agar Ibu kembali sembuh secara total, tanpa tergantung pada obat-obatan. Susah sekali setiap habis obat, sakitnya kambuh lagi. Keperluan biaya keluarga kami semakin terpuruk parah. Tidak bisa diam saja. Tidak mau mengalah. Tidak ingin parah. 

Dokter di puskesmas mendiagnosis Ibu over dosis. Penyakitnya kronis. Kami terkejut bukan kepalang. Berpikir memang Ibu seringkali mengkonsumsi obat-obatan. Tapi memang seperti itu kondisinya. Terpaksa mengkonsumsi demi tidak kambuh lagi. Ibu di sarankan ke rumah sakit. Kami ada BPJS. Pihak rumah sakit melayani sangat lamban. Ini memang harus ada biaya yang masuk agar penanganan bisa segera di tangani. Sialan memang!

Kabar buruk selanjutnya, Ibu di diagnosa terkena kangker kantung kemih. Menyakitkan. Kabar yang teramat menyakitkan. Ibu harus di rawat, dan kami tidak bisa mengandalkan BPJS untuk menangani proses yang memang harus di tangani cepat ini. Bingung. Mentok. Bapak terpaksa gadaikan rumah demi biaya Ibu di rawat di rumah sakit. Kami akhirnya mengontrak rumah kecil di Bekasi, dekat dengan rumah Kakak perempuanku di sana.

Setahun sudah. Ibu semakin parah. Biaya habis. Tidak ada lagi. Aku sempat pergi dari Bekasi, pulang ke Sukabumi. Tapi tidak ada tempat tinggal. Tentu saja. Rumah masih tergadai. Di huni orang yang tidak aku kenal. Lantas apa tujuan pulang?

Sebelum ke Sukabumi, dua kawan karib SMP ku mengabari lewat Facebook. Kangen. Kami berdiskusi, merencanakan pertemnuan. Tapi aku tidak bisa ke mana-mana. Tidak punya uang. Mereka berdua paham. Akhirnya keputusan final, mereka menghampiriku ke Bekasi. Kami berbincang panjang lebar. Mereka turut prihatin melihat kondisi Ibuku terbaring.

Temanku akhirnya mengajakku berbisnis. Aku izin. Bapak bolehkan asal jelas. Insya Allah kata ku. Seperti itu lah, akhirnya aku kembali ke Sukabumi. Namun rencana tinggalah rencana, kondisi di lapangan lain lagi. Perencanaan bisnis dengan temanku akhinya gagal. Tidak sesuai. Aku putuskan untuk pergi ke kampung halaman saja. Temanku mengantarkan. Aku di antar sampai warung si Om. Warung tempat biasa nongkrong. Beruntung temanku memberiku uang sebelum dia pergi pulang. Untuk bekal katanya, sekaligus permohonan maaf atas rencana gagal itu. Aku tersenyum.

Aku di sapa para tetangga. Bertanya kabar, “Bagaimana kabar Ibu?” malas ku jawab. Hanya senyum dan, “Yah begitulah, bantu do'a ya Bu, Pak,” mereka turut prihatin. Orang-orang punya cara sendiri untuk menunjukan rasa peduli. Basi, untukku pribadi.

Bapak tidak terlalu mencariku. Sebab aku bilang sedang bekerja di rumah Teh Neneng. Jangan khawatir, aku tidur di rumahnya. Padahal aku berbohong pada Bapak. Aku tidak tidur di tempat siapapun. Maaf untuk kisah masa lalu ini, Pak.

Teh Neneng bukan tetangga dekat. Dia tidak tahu perihal apa yang sedang menimpaku, menimpa keluargaku. Teh Neneng membayar upah untuk aku sehari 70K. Lumayan. Temanku bertanya, “Kamu tidur di mana?” aku tersenyum dan menggeleng kepala. 

Maaf, sebelum kerja di rumah Teh Neneng, semalam pertama, aku hanya tidur di saung tempat aku dan kawan-kawan lama biasa nongkrong. Bukan saung biasa, saung ini adalah tempat orang menjaga kambing-kambing milik pak RT. Ada Doni namanya, dia yang bekerja di sana. Bekerja menjadi tukang jaga kambing pak RT. Aku menghampirinya malam-malam. Membawa tas besar berisi pakaian. “Kamu minggat dari rumah?” tanya Doni begitu aku sampai. Aku jawab, “Iya.” Dia belum tahu juga perihal apa yang sedang menimpaku saat itu. Belum tahu jika rumahku di gadai ke orang.

Karena aku berpikir tidak tahu harus tinggal di mana lagi, mau tidak mau Doni harus tahu kisahku saat itu. Aku ceritakan semuanya malam itu. Dia turut prihatin. Dia menawarkan, “Mau jadi tukang pencari rumput untuk kambing?” aku mengangguk sambil tersenyum getir. “Tanyakan pada Pak RT dulu saja,” jawabku. 

Singkatnya selama dua hari aku bekerja dengannya. Menjadi penjaga kambing, sekaligus mencari pakan. Pak RT bersedia membayar seimbang. Tidak ada potongan. 20k satu karung. Rokok selalu di sediakan satu bungkus tiap hari, kini menjadi 2 bungkus U-mild setiap hari. Karena ada aku. Sebelum jam 8 malam, anaknya yang perempuan ke kandang, membawakan kami makan.

Setelah itu lah aku di tawari Bah Dodom untuk bantu kuli di rumah Teh Neneng yang memang sedang membangun rumah, dan masih butuh orang. Sebelumnya aku bercerita pada Bah Dodom di warung si Om ketika aku akan membeli mie instan untuk makan di saung, bareng Doni. Merasa prihatin, lantas dia menawari kerjaan itu. Nampak berat memang kerjanya. Namanya juga kuli bangunan.

Singkatnya temanku satunya datang. Yang tadi bertanya, “Kamu tidur di mana?” aku tersenyum dan menggeleng kepala. Merasa malu jika harus kembali ke saung bareng Doni. Aku bukan lagi orang yang ada sangkut pautnya lagi dengan tempat itu. Meski Doni mempersilakan, tetap saja tidak enak hati. Katanya, “Jangan di bawa tasnya. Tidur di sini saja, gapapa.” aku orang yang mudah membaca pikiran orang. Tahu betul mana yang sungguhan mempersilakan, dan mana yang pura-pura hanya karena tidak nyaman.

Singkat cerita jatuh pada 2016. Tepat satu peristiwa yang paling kelam. Ibu meninggal dunia. Posisiku sudah dapat kerja di satu rumah makan sederhana di kota Bekasi. Hemmmmh sepertinya ngaco. Atau, entahlah. Ini lebih akan panjang jika aku ulas semua riwayat kelam ini dari awal. Maaf aku harus meloncat ke tahun 2019. Di mana ini adalah titik awal perjuanganku. Akhirnya aku dapat di terima bekerja di sebuah pabrik. Bayangan upahnya sudah dapat membuatku mulai berangan-angan. Semoga bisa mencapai target yang aku inginkan. Mempunyai sebuah motor.

Selama dua tahun bekerja di sana akhirnya aku bisa memiliki sebuah motor yang sejak lama aku inginkan. Meski harus dengan tidak di perpanjangnya masa kontrakku di sana, yang terpenting satu tugas sudah selesai.

Kini Februari 2022. Empat bulan sudah aku menganggur. Susah memang ingin mendapat pemasukan. Entah buka usaha sendiri, atau bekerja di tempat orang lain dan mendapat upah. Kacau sekali negeri ini. Menyedihkan. Belum sempat aku melangkah ke titik yang lebih tinggi, tidak sangka akhirnya terjatuh. Sangat-sangat jauh turun ke bawah. Se singkat-singkatnya kisah ini, pada akhirnya, aku ... Kembali Ke Titik Awal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernah Dekat

Saat Aku Pulang

Villa Hakim 3: Bogor