Terima Kasih Bandung



23 Januari 2022

Siang itu aku mendapat sebuah informasi tentang lowongan pekerjaan di sebuah forum media sosial. Bukan lowongan kerja sebagai pegawai pabrik memang. Tapi aku berpikir, ini adalah satu peluang. Di saat situasi seperti ini, aku mengerti orang-orang pun sulit mendapat pekerjaan. Dalam sebuah informasi yang aku dapat di media sosial, seseorang mengunggah gambar di komentar. Unggahannya cukup jelas, orang tersebut sangat butuh pekerja yang serius, dan minat yang tinggi dalam bekerja. Ada nomor kontak yang bisa di hubungi di sana. Tanpa menjejakan komentar, aku langsung menghubungi orang tersebut melalui aplikasi tukar pesan.

   “Selamat siang, A. Saya Iki, dari Sukabumi. Saya dapat informasi lowongan kerja, untuk langsung menghubungi nomor ini, apa benar. Maaf mengganggu sebelumnya.” Begitu bunyi pesan yang aku kirim untuk mengawali sesi chating.

   “Oh.. Iya betul, A. Sebelumnya maaf, Aa pengalaman kerja apa? Kami cari yang serius, disiplin, dan rajin, walau gaji kecil. Kami butuh orang, tapi gajinya kecil, A.”

   “Ah, engga apa-apa, A. Insya Allah saya bisa mengondisikan. Dulu saya pernah bekerja sebagai pelayan restoran, A.”

   “Aa-nya dari Sukabumi?”

   “Iya, A.”

   “Toko kami berlokasi di Bandung, A. Kalau Aa niat, dan minat, bisa datang langsung aja ke toko kami. Nanti saya jelaskan secara rinci.”

   “Oh siap, A. Boleh minta kirim lokasi?”

   Sesi tukar pesan berakhir begitu orang tersebut mengirimkan lokasi. Jam jam berikutnya aku isi dengan aktifitas seperti biasa. Hanya bermain gitar, atau membaca novel yang belum selesai. Sebab di jam siang itu, bertukar pesan dengan pasangan (pacar) yang sedang tidur tidak bagus.

Singkat cerita, pada malam hari ketika aku berkumpul dengan teman di depan teras rumah, orang tersebut mengabariku lagi melalui aplikasi tukar pesan. Memastikan bahwa besok aku benar datang. Tanpa pikir panjang, aku balas pesannya, dan pastikan akan datang besok siang.

   Sesi tanya jawab usai setelah beberapa menit orang itu menghubungiku lewat telpon. Isi nya monoton, layak percakapan seorang bos, dan calon karyawan pada umumnya.

Singkatnya esok pun tiba. Subuh aku sudah terbiasa bangun. Karena malamnya memang belum ada yang aku persiapkan, maka subuh itu juga aku bergegas memasukan beberapa baju dan perlengkapan pakaian ganti lainnya untuk di sana. Tidak banyak memang, aku pikir jika ini akan berlangsung panjang nantinya, aku bisa beli yang kurang di sana.

Orang itu menjelaskan dalam percakapan semalam bahwa aku memang di butuhkan untuk langsung kerja besok. Dia juga menjelaskan bahwa aku sudah dapat mess di sana. Peluang besar meski dengan pekerjaan yang tak seberapa, batinku berterus terang.

    Aku berangkat dari Sukabumi, menuju Bandung sekitar jam tujuh pagi. Selesai sarapan, dan sedikit sesapan secangkir kopi yang telah Ibu siapkan.

Sebenarnya, tidak ada sama sekali semangat untuk menuju Bandung pagi itu. Namun, tidak ada pikiran malas juga untuk membatalkan pemberangkatan. Semua hanya terasa hambar. Rasanya badan ini memiliki sensor robotik sendiri tanpa harus menunggu aba-aba dari isi otak kepala.

   “Untuk kamu di jalan,” ucap Bapak tiba-tiba menyodorkan uang merah satu lembar.

Posisiku masih duduk di bangku teras depan rumah. Sembari menikmati sebatang rokok, dan secangkir kopi, “engga usah. Lagian di sana juga langsung kerja. Di kasih makan, plus uang harian katanya,” jawabku menolak.

   “Pegang aja, buat jaga-jaga,” timpal Bapak tanpa mengubah posisinya.

Aku menatap wajah Bapak sebentar, lalu beralih pada uang merah di tangan Bapak. Aku mengambilnya, berseru lirih, “makasih.”

   Jelas ada perasaan tidak enak sebenarnya. Meskipun dalam garis besar, Bapak tidak berpikir sama dengan apa yang aku pikirkan. Tidak ada percakapan yang intens antara aku, dan Bapak setelah itu. Kami memang jarang bicara, jarang komunikasi, tapi tidak ada masalah memang, hanya saja, mungkin sudah karakter Bapak pendiam, dan menurun padaku. Tapi aku mampu merasakan, kepedulian Bapak teramat besar, begitupun Bapak, percaya, aku bisa di andalkan.

    10:17 Alun-alun Banjaran
    Siang itu Bandung memang panas. Ini adalah kali ke dua aku menginjakan kaki di Bandung. Sebelumnya memang belum pernah sama sekali pergi ke Bandung. Masih dalam perjalanan menuju lokasi yang aku tuju, aku melewati sebuah Alun-alun kota. Aku mampir di sana. Cukup teduh, pikirku. Banyak pohon-pohon yang berdiri di Alun-alun. Aku berhenti tepat di sebuah warung kecil, memesan es, dan duduk istirahat di bawah pohon.

Ada yang tiba-tiba membuatku berpikir aneh. Orang-orang di sana sangat jelas memperhatikanku lamat-lamat. Aku benar-benar merasa tidak nyaman. Merasa di awasi. Apa yang aneh dariku? Batinku penuh tanya. Apa mungkin ini Bandung (Bobotoh), lalu gara-gara plat nomor motorku, B (Jakarta - Jakmania). Ada-ada saja, benakku tak habis pikir.

Pelan-pelan aku mencoba senyaman mungkin bersantai di bawah pohon. Menikmati es kopi, dan isapan rokok batang demi batang yang ku bakar. Tapi tetap saja, Bandung rasanya malah semakin panas.

    Aku coba menghubungi orang itu. Si bos sebuah toko. Diam saja dia, tidak ada kabar sama sekali, pikirku terlanjur kesal. Niat apa enggak sih, nyari pekerja? Aku kirimkan pesan singkat, mengabari si bos toko. Lama tidak ada balasan.

Beberapa menit berlalu, si bos toko itu menelpon. Dia mengatakan padaku bahwa dia sedang pergi belanja untuk bahan di toko. Dia meminta agar aku tetap menunggu di Alun-alun sebelum ia sampai kembali ke toko. Baiklah, bukan masalah bagiku. Aku orang yang terbiasa menunggu.

Mungkin sudah satu jam lebih aku tidak beralih tempat. Sangat risih juga orang-orang masih menatapku seperti orang yang teramat asing bagi mereka. Ya, memang aku tamu. Tapi tatapan mereka benar-benar seperti menatap orang yang harus di waspadai. Aing lain gelandangan, Anj***

   Merasa semakin tidak nyaman, akhirnya aku putuskan untuk pindah tempat. Tidak jauh di Alun-alun, berdiri masjid Agung. Aku putuskan untuk bersantai di masjid. Sambil menunggu dzuhur, pikirku.

Benar saja, sampai adzan dzuhur berkumandang, belum ada kabar lagi dari si bos. Sebenarnya bisa saja aku langsung menuju lokasi toko, sebab lokasinya pun sudah aku tandai pin. Berhubung di suruh untuk menunggu dulu di Alun-alun, apa boleh buat? Pada akhirnya aku memilih untuk ikut dulu solat dzuhur. Toh memang tidak sedang di kejar waktu.

Selesai solat, aku melihat layar ponsel. Satu panggilan tidak terjawab. Si orang itu, si bos, menelpon. Segera aku kirim pesan padanya, menjelaskan bahwa aku baru selesai solat di masjid. Selang beberapa menit, setelah aku selesai memakai sepatu, ia menelpon kembali. Ia mempersilakanku ke toko. Dia sudah sampai di sana sejak tadi. 

    12:22 Di Toko
    Pelan aku laju motorku, sembari menyisir tepian jalan untuk memastikan di mana tempat toko itu berdiri. Tidak jauh memang, akhirnya ketemu. Persis sebuah bangunan toko yang di posting di sebuah komentar. Aku yakin, ini memang tempatnya.

Sampai di toko, aku parkirkan motorku di paling pojok. Aku melangkah masuk menuju toko. Ada tiga orang laki-laki di dalam. Aku memutuskan niat untuk bersalaman mengenalkan diri. Namun belum sampai di pintu masuk toko, satu orang laki-laki di dalam toko keluar menyambut, dan bersalaman denganku. Dia orangnya. Dia si bos toko.

    “Iki, ya?”

    “Iya, A. Maaf telat, mungkin. Saya belum pernah ke Bandung.”

   “Haha. Santai, gapapa. Itu gimana tadi? Gak sampe nyasar ya di jalan?”

    “Justru nyasar, A. Haha.”

    “Hahaduh. Yaudah yang penting A Iki udah di sini nih. Emmmm ... Sekarang mah kita ke musola dulu yuk. Solat jama'ah dulu sama saya, A.”

    Bagus banget niatnya, batinku tanpa menyela. Aku pikir akan betah kerja dengan pemilik toko yang seperti ini.

    “Saya sudah solat, A, di Alun-alun, sebelum ke sini,” balasku berterus terang. Apa dia gak baca pesanku sebelumnya, sebelum dia menelpon tadi? Entahlah?

    “Oh udah solat. Emmmm yaudah kita ngobrol di luar aja yuk! Sambil ngopi, biar santai.”

    “Gitu ya?” jawabku kikuk. Tidak berpikiran apapun di luar isi kepala yang mulai menilai orang asing di depanku ini adalah orang yang nyaman. Bagaimana tidak, calon pekerjanya saja sudah di sambut seperti ini.

    Orang itu mulai merangkul pundakku, mendekatkan sedikit mulutnya di kupingku. “Di sini kurang enak ngobrolnya, A. Ada orang yang mau saya keluarin besok sebenernya. Nah sebagai gantinya, A Iki ini lah. Gitu.”

    Sedikit terkejut mendengarnya. Bahkan dia sudah menaruh percaya sebesar itu padaku. Kecuali memang orang yang ia maksud akan di berhenti kerjakan, memiliki riwayat sangat buruk selama bekerja di tokonya. Jangan besar hati. Realistis saja. “Oh gitu? Haha. Yaudah gimana enaknya aja, A.”

    Sampai di sana, aku di ajak pergi dari toko. Berjalan kaki? Sempat berpikir, kenapa gak pakai motor ya? Lalu ku coba tepis pikiran itu, oh mungkin dekat, si lokasi warung kopi yang di maksud.

Tidak lama kemudian, aku di ajak masuk gang. Sebelum masuk gang, kami sempat melewati gang itu. Dia bilangnya mau ngambil kunci rumah di rumah sodaranya. Dia menunjukan rumah sodaranya padaku. Pintunya tertutup rapat. Rumah sodaranya cukup besar. Terlihat sepi memang. Tidak ada siapa-siapa. Lalu kami berbalik arah, berjalan sedikit, dan masuk gang.

    Tidak jauh masuk gang, berdiri sebuah bangunan musola kecil. Di samping musola ada warung rumahan kecil gitu, mungkin pembelinya juga hanya untuk anak-anak, dan sebagian orang-orang di dalam gang saja.

Aku duduk di teras musola. Si bos memesan dua gelas kopi di warung itu. Dia sempat bertanya padaku, mau pesan kopi apa? Aku jawab, di sama-kan saja.

Tidak lama, dia di telpon seseorang. Sepertinya istrinya yang menelpon. Dia melepas sepatunya, duduk bersandar pada dinding tembok musola. Aku masih tidak mengubah posisi. Kopi pun siap saji. Dia memanggilku. Aku melepas sepatu, duduk di dekatnya. Masih menelpon, dia bertanya nama lengkapku, seseorang di balik telpon lebih tepatnya yang bertanya demikian. Aku sebutkan nama lengkapku, dan dia menyampaikan ulang pada lawan bicaranya di telpon. Lalu kemudian, dia bertanya, domisili-ku, Kota, atau, Kabupaten? Kota, ku jawab mantap. Dia menyampaikan ulang. Cukup lama aku di kambing tuli-kan. Hampir setengah jam sudah dia di telpon istrinya. Pikiran yang tidak-tidak mulai masuk di otakku. Mengapa istrinya bertanya-tanya sepenuh itu? Maksudku, lelah sudah aku ke Bandung, jika belum apa-apa, kabar yang akan aku terima bukan untuk langsung bekerja. Memasuki sesi wawancara masih bisa aku terima, bagaimana jika ada berita dadakan lainnya? Misalkan, aku di tolak? Hemmmh.

    Telpon pun di tutup. Dia mulai membuka masker yang sedari tadi menutup wajahnya. Kini aku bisa melihat jelas wajah orang di hadapanku. Dia menyalakan sebatang rokok, tak lupa menawariku. Namun aku memilih membakar rokok milik ku sendiri. Kami mulai sama-sama saling menghisap rokok. Sesi wawancara ringan akan segera di mulai, batinku menebak.

    “Istri saya emang gitu sama orang-orang yang mau kami pekerjakan. Bawel! Maaf ya,” katanya tanpa menatap mataku. Pandangannya malah mengarah ke arah lain sambil tersenyum. Semudah itu aku bisa pastikan, si bos ini tipe orang yang emang gak enakan.

    “Ah gapapa atuh, A. Wajar wajar aja.”

    “Tapi sebelumnya emang enggak gitu. Cuman sekarang-sekarang aja nih kayak gini.”

    Dari sini, wawancara di mulai. Aku memang tidak mengajukan pertanyaan apapun. Dia yang terus memberi pertanyaan untuk aku jawab dengan sebenar-benarnya. Dari mulai bertanya pengalam kerjaku dulu di mana, dan bagaimana? Sampai ke titik-titik cara bersosialisasi aku yang seperti apa?

Dia sempat menyinggung tentang cara kerja di tokonya bagaimana, dan tugas apa yang akan aku ambil nantinya jika di terima kerja di tokonya. Dia juga sempat mengingatkanku, bahwa ternyata semua keputusan ada di tangan istrinya. Sempat jengkel memang, kenapa gak bilang sejak awal. Minimal gak ngasih harapan. Sudah seperti ini, bukan lagi peluang namanya, tapi keberuntungan.

    Dia mencoba ingin menguji ke yakinan dan mentalku. Apa yang akan aku lakukan jika dia hanya bisa bayar aku 350 satu minggu? Dengan santai, dan memang benar bukan masalah besar, aku jawab, ya tidak apa-apa. Selama di bayar, dan lancar, aku akan lanjutkan. Begitu kejelasanku padanya. Dia tersenyum-senyum.

Hampir dua jam sudah sesi percakapan penting antara calon bos, dan calon pekerja di satu musola kecil dalam gang. Dia setiba-tiba mengeluarkan selembar kertas, berikut pena.

    “Yaudah yaudah. Ke asikan ngobrol kita nih, A. Sampai lupa pesan istri saya. Emmmm jadi ini ada soal gitu, A. Hitung-hitungan. Di sini adalah harga-harga barang yang kami jual di toko. Ini Aa pengerjaannya cukup di jumlahkan aja, A, sampe ketemu hasil yang benar di akhir. Maaf ya, A. Mungkin Aa juga mikir serepot ini banget buat kerja di Toko doang ya, A. Saya juga malu mau bilang dari tadi. Cuman lihat kondisi, dan karakter Aa mah, ini juga saya di beraniin aja ah. Maaf ini mah, A. Maunya istri saya emang gini banget sekarang. Panaroid banget sama karyawan yang udah-udah, A. Takut salah ngasih kembalian ke pelanggan katanya.”

    “Hahaha oh yaudah gapapa, A. Ngerti, dan gak ada salah juga sih. Gak harus mandang besar kecilnya suatu perusahaan. Mau itu sekelas pabrik besar, atau cuman toko kecil, yang bekerja di sana harus tetap punya karakter baik juga pastinya.”

    “Syukur kalo Aa paham ke arah sana. Yaudah sok, A Iki boleh ngerjain sekarang aja. Ini istri saya mau ke toko sekarang. Lagi di jalan katanya. Saya mau beli es dulu nih. Bandung mah panas gini gening, A, ya?”

    “Hahaha iya A siap.”

    “Oh Aa, mau pesan es apa?”

    “Aduh, A. Gimana Aa aja, ini juga kopi masih ada, A.”

    “Kopi mah beda lagi atuh. Panas eta mah. Haha. Yaudah sok santai aja jangan buru-buru ya.”

    “Haha iya siap, A.”

    Si bos pun pergi. Dan aku fokus mengerjakan soal. Matematika. Menyebalkan sekali, rutukku dalam hati. Dari jaman SD memang aku benci sekali Matematika. Namun di sini, aku akan berusaha. Tidak lama kemudian, dia, si bos, datang lagi. Pikirku, es nya sudah ia bawa.

    “Punten, A Iki. Duh istri saya tadi nelpon lagi. Punten, maaf pisan, bukan maksud gak percaya sama Aa ini mah. Tapi maunya istri saya, kalo boleh HP Aa saya pegang dulu gapapa ya? Takutnya ini mah Aa nyontek ke kalkulator gitu katanya, duh.”

    “Oh. Haha iya paham paham. Gapapa, A. Nih pegang aja.”

    Bahkan aku menyerahkan ke dua HP ku untuk dia pegang. Mencoba meyakinkan dia bahwa aku bisa mengerjakan ini tanpa bantuan.

    “Maaf sekali lagi ini mah. Saya tadi udah pesan es nya di depan. Buru-buru ke sini lagi. Sok di kerjain lagi, A.”

    Aku hanya haha hehe saja, dan mengiyakan segala upayanya. Tidak berselang lama, dia balik lagi. Belum sempat satu soal selesai.

    “A, motor di kunci stang? Tadi orang toko nelpon, ngalangin katanya, ada mobil mau masukin barang.”

    “Aduh iya eung. Tunggu sebentar, A,” timpalku, bergegas memakai sepatu.

    “Oh gapapa, A. Santai aja di sini. A Iki fokus aja ngerjainnya. Biar saya yang pindahin motornya.”

   “Aduh. Maaf atuh ya, A. Jadi ngerepotin saya eung.”

    Aku menyerahkan kunci motorku pada si bos. Berasa merepotkan sekali. Seharusnya tak perlu aku kunci stang tadi. Dia tersenyum, berlalu pergi. Aku melanjutkan mengerjakan soal. Beberapa menit berlalu, tidak terasa akhirnya semua soal berhasil aku selesaikan. Entah jawabannya benar semua, atau mungkin ada beberapa yang salah. Yang jelas aku merasa puas telah berhasil merampungkan satu tugas tanpa bantuan siapapun, tanpa bantuan apapun.

Aku lipat kembali kertas soal itu, dan menaruhnya di teras musola, berikut dengan pena. Aku menyesap kopi yang tersisa setengah gelas. Membakar kembali rokok, dan bersandar santai.

Tiba-tiba aku merasa tersadar. Seakan-akan ada yang terasa janggal dari semua kejadian yang terekam. Aku merasa bosan. Tidak ada yang bisa aku mainkan setelahnya. HP-ku tentu sudah di tangan si orang itu. Apa jangan-jangan ... ?

    14:30 Musola kecil dalam gang
    Astaghfirullah ... Bagaimana jika orang itu bukan benar-benar asli orang sini? Bagaimana jika orang itu bukan benar-benar orang si pemilik toko? Bagaimana jika semua kejadian ini sebagian dari susun rencana penipuan? Selama jalan cerita ini memang tidak ada satu hal pun yang membuktikan benar-benar orang itu sang pemilik toko. Dan aku hanya terpancing yakin atas tindak laku dari sang pelaku. Hanya dia satu!

Astaghfirullah. Aku mulai bangkit dari duduk ku. Menggendong kembali tas ku, memakai sepatu. Aku langsung berlalu tanpa membereskan gelas kopi di teras musola. Bodo amat pikirku. Aku terus beristighfar kecil, sambil berjalan setengah lari. Terus beristighfar dan berharap semua pikiranku salah besar.

Aku berjalan cepat menuju toko. Dari kejauhan sudah nampak jelas tidak lagi terlihat motorku di parkir di tempat semula. Nafasku sedikit tersenggal. Pikiran mulai terasa semakin kacau.

Aku masuk ke toko. Masih ada dua orang pegawai yang orang itu ceritakan sebagai karyawannya (semula). Aku bersalaman dengan mereka, dan mencoba untuk tenang. Nampak raut wajah yang bingung dari keduanya saat aku menjulurkan tangan untuk bersalaman, dan berucap “Salam kenal, A. Saya yang mau kerja di sini.”

Tuh kan sudah jelas, mereka saja mungkin bertanya-tanya, tidak akan ada orang baru yang dipekerjakan di toko. Namun aku tetap berpikir rasional. Berusaha menyangkal pikiran burukku, berharap bukan itu yang terjadi. Astaghfirullah. Batinku tak henti beristighfar.

    “Si Aa nya kemana, A?” tanyaku pada satu pegawainya, setelah bersalaman.

    “Oh. Tadi bilangnya mau ke ATM dulu. Duduk dulu aja, A.” sahutnya ramah mempersilakan.

    Aku tersenyum. Mengangguk, lalu duduk setelah menaruh tas di meja. Peduli amat mereka berpikir tingkahku kurang sopan saat itu, dengan sembarang menaruh tas tanpa izin. Aku kembali membakar rokokku. Lama sekali orang itu tidak kembali. Setiap motor yang lewat, aku perhatikan. Berharap dia kembali. Pikiranku semakin kacau. Beberapa mobil yang parkir, atau motor yang di kendarai perempuan parkir dekat toko pun, tak luput dari perhatianku. Berharap istrinya-lah yang berkunjung ke toko, seperti yang orang itu ceritakan tadi. Namun sudah cukup lama, kedua hal itu tidak terjadi. Apa benar-benar mustahil?

    “Si Aa yang tadi pemilik toko ini, A?” tanyaku memastikan.

    “Oh, bukan, A. Pemiliknya di Tangerang.”

    Teg! Jiwaku se akan-akan ingin ke luar dari raganya. Kepalaku benar-benar terasa panas, menyadari kebenaran yang terjadi. Aku ingin menangis. Aku meremas rambutku dengan kedua tangan, sambil beristighfar.

Si Aa penjaga toko yang duduk di sebelahku, yang memang sedari tadi fokus dengan komputer yang tersedia di toko, mulai memperhatikanku. Dia bertanya kenapa? Aku belum mau jawab. Aku menunduk mengerutkan wajah. Belum beralih posisi kedua tanganku yang meremas rambut.

Beberapa detik berlalu aku mulai mengangkat kepalaku. Menatap si Aa penjaga toko di sebelahku. Aku perhatikan, si Aa penjaga toko yang satunya pun ikut bangkit memperhatikanku, setelah sebelumnya saling pandang dengan temannya penuh tanya, kenapa? Tidak peduli, mungkin wajahku terlihat sangat kusut depan mereka saat itu.

Aku bertanya pada keduanya, siapa orang itu tadi? yang di awal jelas aku lihat bercengkerama dengan mereka berdua di dalam toko, sebelum sempat aku ingin bersalaman, dia sudah menyambutku ke luar, tanpa mempersilakan masuk ke dalam.

    Si Aa yang duduk di sebelahku menjelaskan, “Si Aa tadi yang COD HP sama saya, A. Dua hari sebelumnya. Dia datang ke sini, ini HP nya saya pake. Kesini katanya cuman mau main aja, sambil ada janji juga mau ketemuan sama temen.”

    “Emang kenapa, A?” kata si Aa satunya tanpa mengubah posisi. Berdiri, bersandar pada etalase toko.

    Aku ingin menangis. Ya Allah. Aku tak kuasa bicara. Aku tak kuasa menjelaskan semua. Kejadian ini benar-benar di luar nalar manusia yang sudah bersungguh-sungguh niat cari kerja. Akhirnya aku menjelaskan pada mereka, dengan kronologi cerita seperti di atas. Ini bukan hipnotis. Aku sepenuhnya sadar dengan semua kejadian yang terekam isi kepala. Ini modus penipuan yang benar-benar di susun rapih alur ceritanya. Strategi yang sangat matang.

Pada akhirnya si Aa merasa iba. Mereka turut prihatin atas kejadian yang menimpaku. Merasa kasihan betul, jauh-jauh dari Sukabumi menuju Bandung hanya untuk menjadi seorang penjaga toko. Si Aa sangat mengerti, dan mungkin sedikit tidak habis pikir atas tekad keseriusanku yang sebesar itu.

    Note:
    Aku sadar, akan sangat panjang jika aku ceritakan serinci mungkin atas kejadian satu hari penuh ini. Poin penting atas peristiwa yang telah menimpaku, adalah satu bentuk tamparan keras, dan pelajaran hebat.

Untuk seseorang yang mungkin sama di posisiku, akan mengerti, kita tidak bisa sejernih itu berpikir lebih awal. Terlebih pada obrolan sebelum kejadian, tidak ada mimik, atau tanda-tanda modus penipuan. Setelah banyak cerita pada orang-orang terdekat, aku pun banyak di sadarkan. Semua dari mereka yang mendengar, ikut menyesali, dan tidak sepenuhnya menyalahkan. 

Aku mendapat banyak sekali masukan dari para pendengar-pendengar yang baik. Entah itu teman, ataupun sodara. Ada yang menyangkal juga bahwa kejadian itu bukan murni penipuan. Melainkan memakai trik manipulasi bawah sadar, atau hipnotis. Tapi kembali aku jelaskan, jika ini murni hipnotis, aku tidak akan sama sekali mengingat semua kejadian yang terekam.

    Intinya, siapapun kamu yang membaca ini, dan sedang ada di posisi sama denganku, tolong pastikan. Jangan mudah percaya pada sebuah informasi lowongan pekerjaan yang di sebar luas di media sosial. Meski keterangan di sana menyatakan perihal sebaik mungkin. Pastikan, jika akun tersebut jelas. Pastikan di tempat jika sudah dalam tahap pertemuan kalau orang asing di depanmu memiliki bukti kuat sebagai orang terpercaya.

Terima kasih Bandung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernah Dekat

Saat Aku Pulang

Villa Hakim 3: Bogor