Aku Hebat (onme#1)



Apa kabar?
Hem. Aku tersenyum kecil membuka ulang platform ini. Aku pikir sudah setahun tidak lagi menulis di sini. Padahal, baru saja kemarin ternyata. Aku pelupa, semakin pelupa saja rasanya. Memprihatinkan. Aku benci mengakui, tapi ini yang terjadi. Faktor usia.

Sampai saat ini aku masih bekerja di salah satu kedai kecil di kota kecil pesisir utara. Tidak terasa, aku sudah setahun saja menjejak diri di kota ini. Ya, walau memang moment hari raya kemarin, aku pulang juga. Itu wajib. Setahun sekali berkumpul bersama keluarga.

Hari ini aku libur bekerja. Tapi harus tetap bekerja, karena tugasku sebagai purchasing sangat diandalkan perusahaan. Contoh kecil untuk belanja bahan masakan. Jika hari ini libur, namun tetap ada bahan yang harus dibeli, itu jadi bagian tugasku.

Pemilik perusahaan kedai kecil ini memilihku untuk mengambil bagian tugas ini. Selain dari karyawan lain yang menolak, mungkin pemilik perusahaan juga menilai potensi setiap karyawannya sendiri. Siapa yang paling bisa diandalkan untuk tugas ini.

Sebelum aku, ada satu temanku yang ditugaskan di bagian purchasing. Sayangnya, dia pamit undur diri setelah hari raya kemarin. Alasannya, dia tidak cocok. Ya aku paham itu. Setiap orang memiliki target poinnya masing-masing. Dia punya target, aku juga sama. Terlebih untuk seorang laki-laki. Perlu ada uang tabungan setiap bulan, untuk mencapai target yang diinginkan. Apa itu? Menikah? Memiliki rumah? Apapun. Itu target seorang laki-laki.

Dia bercerita banyak hal padaku sebelum pamit pulang. Usianya dua tahun diatasku. Belum menikah, tapi punya kekasih. Ada target yang harus ia capai dengan segera. Sementara mungkin dengan pendaatan dia di sini, kurang untuk mencapai target dalam waktu yang ia targetkan. Menyedihkan, memilukan memang.

Aku juga sama. Tapi aku akan melihat sampai beberapa jauh kedepan nanti. Apakah ini bisa untukku? Atau gagal lagi? Usiaku sudah matang bagi seorang laki-laki. Bahkan aku sendiri merasa mentalku sudah siap untuk membangun rumah tangga. Menikah, memiliki rumah, memiliki bayi, menyekolahkannya ketika tumbuh besar. Ah... Terlalu tinggi, terlalu besar. Tuhan lebih tahu apa yang sangat aku perlu. Tuhan lebih mengerti tentang mentalku sendiri.

Aku mulai merasa rendah diri. Tidak, lebih tepatnya sudah ada di fase ini. Sudah lama. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana normalnya laki-laki menjalani hari-hari. Aku merasa beda dengan laki-laki lain. Mereka seperti mudah mencapai target, lalu finish. Tapi entahlah, itu hanya yang aku lihat pada unggahan foto akun media sosial mereka saja. Sebagian teman-teman kecilku, lalu beberapa lainnya, mereka teman sekolahku dulu. Dan sepersekian persen lainnya orang-orang yang tidak pernah aku kenal di dunia nyata.

Mereka berhasil menyebar undangan pernikahan. Mengabadikan gambar dia mencium kening perempuan yang saat itu sudah menjadi istrinya. Memakai gaun pengantin untuk perempuan, berikut dia dengan jas putih yang rapih. Lalu pada kesempatan lain, ada lagi yang mengabadikan gambarnya di rumah sakit dengan caption, “Anak bayi laki-laki kita.” mengharukan, sekaligus menyedihkan. Tidak, lebih tepatnya menyedihkan untukku sendiri. Kapan aku seperti itu? Mereka bergegas cepat, dan aku sangat lambat.

Tapi seperti yang aku pikirkan tadi. Itu semua hanya aku lihat di akun sosial media mereka. Bahkan aku tidak tahu, seperti apa yang mereka jalani di luar itu? Seperti apa perjalanan yang mereka hadapi sebelum itu? Adakah pencapaian-pencapaian lain? Memprestasikan diri dengan hal-hal menarik? Membahagiakan orangtuanya dengan mengajaknya makan di luar, jalan-jalan, menghadiahkan orangtuanya baju, celana, apapun. Lalu adakah peristiwa krusial sebelum mereka sampai di titik itu? Jika tidak, aku putuskan mereka kalah denganku.

Ya memang, mereka secara dasar kehidupan menjadi pemenang. Menikah, memiliki rumah, tapi melewatkan hal-hal yang seharusnya didahulukan itu, aku pikir, ah.... Entah lah. Seperti mendaki gunung. Kamu sampai di puncaknya dengan helikopter, dan aku jatuh bangun melewati medan jalan yang naik turun. Melelahkan, tapi berkesan.

Aku punya seorang adik laki-laki. Berbeda satu tahun usia denganku. Dia laki-laki yang hebat. Aku seringkali salut padanya. Aku tidak pernah secara terus terang mengatakan padanya kalau dia lebih hebat dariku. Tapi dalam hatiku, aku berkata jujur atas itu.

Kecerdasan, kekuatan mental, karir, dia jauh lebih hebat di atasku. Sayang sekali, dia masih belum bisa mengatur keuangan. Itu yang masih aku lihat sampai sekarang. Aku tidak ingin mengatur, tapi beberapa kali pernah aku ingatkan, agar jangan terlalu menghambur uang. Pekerjaannya sebagai IT memang membuat dia memiliki income lebih besar dari pendapatanku selama tiga bulan bekerja di sini. Keterlaluan kan? Tiga bulan bekerja, aku baru bisa menyamai pendapatannya yang hanya ia dapat dalam satu bulan.

Huh. Lain waktu aku akan ceritakan tentang adikku. Tidak sekarang, tidak pada tulisan ini. Aku hanya ingin mengabarkan ... Lebih tepatnya mencatat untuk aku ingat lagi tentang ini.
Aku hebat sejauh ini.

Aku hebat.
Naiko

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernah Dekat

Saat Aku Pulang

Villa Hakim 3: Bogor